Kamis, 13 Agustus 2015

LOKALITAS DALAM ARSITEKTUR

LOKALITAS DALAM ARSITEKTUR

Dua puluh lima abad lampau, arsitektur Yunani tampil dengan megah. Inti dari arsitektur Yunani adalah keperkasaan bangsa Yunani. Tapi dalam ungkapan arsitekturnya diperhitungkan terhadap harmoni, proporsi dan aturan yang sesuai dengan ajaran yang dipercaya dari dewa-dewa mereka. Selanjutnya arsitektur Yunani di kembangkan Romawi dan Byzantium. Pada saat ini arsitektur tersebut telah menjadi arsitektur klasik.
Di daerah lain yaitu India, berkembang pula arsitektur Hindhu. Arsitektur ini di susun berdasarkan konsep Purusha Mandala dimana digambarkan tentang adanya pusat dunia. Harmoni, proporsi serta bentuk mengikuti aturan-aturan alam semesta. Arsitektur Hindu dan Budha yang berasala dari India ini berkembang di daerah Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Makna dari dua gambaran ini adalah, dalam arsitektur terdapat identitas yang berasal dari suatu sistem kehidupan dan lingkungan yang diterjemahkan dalam bentuk arsitektural. Ada nilai lokal atau setempat.
Di era arsitektur moderen yang berkembang sejak pertengahan abad 19 di Eropa, muncul semacam dogma-dogma dalam arsitektur seperti ”Bentuk mengikuti fungsi” (form follow function) atau ”kekurangan adalah kelebihan” (Less is more) yang mengharamkan adanya ornamen dalam bangunan karena dianggap pemborosan. Dogma-dogma ini jelas menyerang arsitektur terdahulu yang berkembang dari suatu yang lokal. Akibat nya muncul paham Internasionalisme dalam arsitektur, dimana bentuk bangunan hampir sama saja diseluruh dunia.
Arsitektur Moderen mulai diruntuhkan pada sekitar tahun 1970-an awal. Muncul pula paham post modernisme. Paham ini memberi tempat kembali pada lokalitas. Semangat perbedaan dalam arsitektur yang muncul dari suatu  daerah dihormati sebagai karya yang berkwalitas dan harus dipertahankan.
Disisi lain, arsitektur post-modern tetap memberi tempat kepada hal baru dalam seni bina (arsitektur). Maka bermunculan aliran-aliran seperti post struturalisme, dekonstruksi termasuk eklektik atau mencampur adukkan berbagai macam bentuk. Juga muncul gaya minimalis dengan garis-garis vertikal dan horisontal. Gaya eklektik dan minimalis ini banyak penggemarnya di Indonesia. Bahkan ada pengembang yang sengaja memindahkan bentuk dari Eropa, China, Japang dalam kawasan perumahannya. Jelas orientasi dari perumahan ini hanyalah bisnis dan keuntungan ekonomi.

Lokalitas di Nusantara.
Daerah-daerah di Indonesia yang sering kita sebut dengan Nusantara, memiliki berbagai ragam bentuk arsitektur. Bentuk ini tumbuh dari kondisi lokal, baik dari lingkungan alam maupun lingkungan budayanya. Banyaknya ratusan. Bahkan setiap daerah kecilpun memiliki bentuk arsitektur lokal.
Sejak masuknya penjajahan Belanda, kemudian disusul era modernisasi yang juga merambat ke Indonesia sampai saat ini arsitektur lokal ini kurang berkembang. Masyarakat lebih banyak memandang kepada kebudayaan luar sebagai sesuatu lambang kemajuan yang perlu ditiru. Entah cocok entah tidak.
Bentuk-bentuk Yunani sebagai contoh, banyak kita temukan didaerah kita. Dari segi penampilan sekilas memang bagus. Tetapi dari segi proporsi, harmoni seperti yang diterapkan pada masa Yunani sangat menyimpang. Hal ini memang karena kita bukanlah bangsa Yunani. Sehingga semangat yang ada hanyalah semangat menjiplak.
Demikian juga dengan bentuk minimalis yang digembar-gemborkan sebagai representasi dari masyarakat moderen yang serba simpel, cepat dan ligat. Belum tentu cocok dengan budaya kita yang masih membutuhkan kepedulian dengan tetangga untuk bersilaturahmi.
Bentuk Yunani dan bentuk minimalis pada rumah-rumah tinggal dan lainnya adalah sebuah style atau gaya yang hanya mengikuti globalisasi. Tidak memiliki nilai lokalitas yang berasal dari akar budaya kita.
Untuk membangkitkan kembali arsitektur yang benar-benar dari jati diri kita sudah saatnya kita mengembangkan arsitektur yang berwawasan lokal. Banyak ajaran-ajaran  lokal yang menyebutkan bagaimana seharusnya arsitektur bagi bangsa kita.
Dalam arsitektur Melayu kita dapat memahami ajaran lokal tentang arsitektur dari pantun-pantun seperti Rumah limas rumah berbangsa, bertentu letak dengan tempatnya, bertentu atur dengan susunnya,  bertentu bilik dengan ruangnya, bertentu tinggi dengan rendahnya. Juga dapat dipelajari dari ajaran bahwa rumah merupakan representasi dari alam nan tigo. Alam basamak, tempat bersih atau servis, alam basamo, tempat berkumpul kerabat dan tetangga serta alam semalu, tempat aib dan malu ditutup.
Alangkah baiknya konsep rumah tinggal kita dikembangkan dari ajaran-ajaran lokal ini. Hal ini juga perlu diperhatikan dan dipelajari oleh para arsitek, pengembang maupun institusi pendidikan yang ada.

Penulis : Ir. Sudarmin M.T,.
Pernah dimuat di Riau Pos, Kamis 3 Januari 2008,


  

1 komentar: