LOKALITAS DALAM ARSITEKTUR
Dua puluh lima
abad lampau, arsitektur Yunani tampil dengan megah. Inti dari arsitektur Yunani
adalah keperkasaan bangsa Yunani. Tapi dalam ungkapan arsitekturnya
diperhitungkan terhadap harmoni, proporsi dan aturan yang sesuai dengan ajaran
yang dipercaya dari dewa-dewa mereka. Selanjutnya arsitektur Yunani di
kembangkan Romawi dan Byzantium .
Pada saat ini arsitektur tersebut telah menjadi arsitektur klasik.
Di daerah lain yaitu India,
berkembang pula arsitektur Hindhu. Arsitektur ini di susun berdasarkan konsep
Purusha Mandala dimana digambarkan tentang adanya pusat dunia. Harmoni,
proporsi serta bentuk mengikuti aturan-aturan alam semesta. Arsitektur Hindu
dan Budha yang berasala dari India ini berkembang di daerah Asia Selatan dan Asia
Tenggara.
Makna dari dua gambaran ini
adalah, dalam arsitektur terdapat identitas yang berasal dari suatu sistem
kehidupan dan lingkungan yang diterjemahkan dalam bentuk arsitektural. Ada
nilai lokal atau setempat.
Di era arsitektur moderen yang
berkembang sejak pertengahan abad 19 di Eropa, muncul semacam dogma-dogma dalam
arsitektur seperti ”Bentuk mengikuti fungsi” (form follow function) atau ”kekurangan adalah kelebihan” (Less is more) yang mengharamkan adanya
ornamen dalam bangunan karena dianggap pemborosan. Dogma-dogma ini jelas
menyerang arsitektur terdahulu yang berkembang dari suatu yang lokal. Akibat
nya muncul paham Internasionalisme dalam arsitektur, dimana bentuk bangunan
hampir sama saja diseluruh dunia.
Arsitektur Moderen mulai diruntuhkan
pada sekitar tahun 1970-an awal. Muncul pula paham post modernisme. Paham
ini memberi tempat kembali pada lokalitas. Semangat perbedaan dalam arsitektur
yang muncul dari suatu daerah dihormati
sebagai karya yang berkwalitas dan harus dipertahankan.
Disisi lain, arsitektur
post-modern tetap memberi tempat kepada hal baru dalam seni bina (arsitektur).
Maka bermunculan aliran-aliran seperti post struturalisme, dekonstruksi
termasuk eklektik atau mencampur adukkan berbagai macam bentuk. Juga muncul gaya
minimalis dengan garis-garis vertikal dan horisontal. Gaya eklektik dan
minimalis ini banyak penggemarnya di Indonesia. Bahkan ada pengembang yang
sengaja memindahkan bentuk dari Eropa, China, Japang dalam kawasan
perumahannya. Jelas orientasi dari perumahan ini hanyalah bisnis dan keuntungan
ekonomi.
Lokalitas di Nusantara.
Daerah-daerah di Indonesia
yang sering kita sebut dengan Nusantara, memiliki berbagai ragam bentuk
arsitektur. Bentuk ini tumbuh dari kondisi lokal, baik dari lingkungan alam
maupun lingkungan budayanya. Banyaknya ratusan. Bahkan setiap daerah kecilpun
memiliki bentuk arsitektur lokal.
Sejak masuknya penjajahan
Belanda, kemudian disusul era modernisasi yang juga merambat ke Indonesia
sampai saat ini arsitektur lokal ini kurang berkembang. Masyarakat lebih banyak
memandang kepada kebudayaan luar sebagai sesuatu lambang kemajuan yang perlu
ditiru. Entah cocok entah tidak.
Bentuk-bentuk Yunani sebagai
contoh, banyak kita temukan didaerah kita. Dari segi penampilan sekilas memang
bagus. Tetapi dari segi
proporsi, harmoni seperti yang diterapkan pada masa Yunani sangat menyimpang.
Hal ini memang karena kita bukanlah bangsa Yunani. Sehingga semangat yang ada
hanyalah semangat menjiplak.
Demikian juga dengan bentuk
minimalis yang digembar-gemborkan sebagai representasi dari masyarakat moderen
yang serba simpel, cepat dan ligat. Belum tentu cocok dengan budaya kita yang
masih membutuhkan kepedulian dengan tetangga untuk bersilaturahmi.
Bentuk Yunani dan bentuk
minimalis pada rumah-rumah tinggal dan lainnya adalah sebuah style atau gaya
yang hanya mengikuti globalisasi. Tidak memiliki nilai lokalitas yang berasal
dari akar budaya kita.
Untuk membangkitkan kembali
arsitektur yang benar-benar dari jati diri kita sudah saatnya kita
mengembangkan arsitektur yang berwawasan lokal. Banyak ajaran-ajaran lokal yang menyebutkan bagaimana
seharusnya arsitektur bagi bangsa kita.
Dalam arsitektur Melayu kita
dapat memahami ajaran lokal tentang arsitektur dari pantun-pantun seperti Rumah limas rumah berbangsa, bertentu letak
dengan tempatnya, bertentu atur dengan susunnya, bertentu bilik dengan ruangnya, bertentu
tinggi dengan rendahnya. Juga dapat dipelajari dari ajaran bahwa rumah
merupakan representasi dari alam nan tigo. Alam
basamak, tempat bersih atau servis, alam basamo, tempat berkumpul kerabat dan tetangga serta alam semalu, tempat aib dan malu
ditutup.
Alangkah baiknya konsep rumah
tinggal kita dikembangkan dari ajaran-ajaran lokal ini. Hal ini juga perlu
diperhatikan dan dipelajari oleh para arsitek, pengembang maupun institusi
pendidikan yang ada.
Penulis : Ir. Sudarmin M.T,.
Pernah dimuat di Riau Pos, Kamis 3 Januari 2008,
sangat menarik ulasan mengenai unsur lokalitas dalam arsitektur.
BalasHapus